OPINI
Oleh Fransiskus Xaverius Berek
(Saat ini sementara studi pasca sarjana di Universitas Negeri Malang)
Usia seseorang saat
pertama kali merokok kian muda dari waktu ke waktu. Angka usia pertama kali merokok penduduk kelompok umur 15-19 tahun
33,1 persen pada 2007, meningkat menjadi 43,3 persen tahun 2010. Begitu juga
kelompok usia 10-14 tahun di periode yang sama, dari 10,3 persen menjadi 17,5
persen. Hal yang paling menggelisahkan ialah kemunculan perokok di kelompok
usia 4-9 tahun yang pada 2007 ada 1,2 persen, menigkat menjadi 1,7 persen tahun
2010 (Kompas, 28 Mei 2015).
Tak hanya
itu, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) yang dipublikasikan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI tahun
2013 menunjukkan tak ada penurunan jumlah penduduk perokok usia 15 tahun ke
atas sejak 2007 hingga 2013. Justru naik dari 34,2 persen menjadi 36,3 persen. Nusa Tenggara Timur
berada di posisi tertinggi perokok di tahun 2013.
Faktor Yang Mendorong Orang Merokok
Rasa ingin tahu dan semangat coba-coba, menjadi faktor awal seorang anak atau remaja merokok. Beberapa faktor lain diantaranya: Pertama Faktor Keluarga. Keluarga menjadi pihak pertama yang
mempertemukan anak atau remaja dengan rokok. Seorang anak atau
remaja yang merokok biasanya karena meniru kebiasaan orang dekatnya yang
perokok. Semakin sering melihat orang dekatnya merokok, semakin kuat
keinginannya untuk merokok. Kedua Teman sebaya. Teman
turut andil dalam memengaruhi kebiasaan merokok anak atau
remaja. Kebutuhan untuk diterima dalam kelompok teman sebaya seringkali membuat
anak atau remaja berbuat apa saja agar dapat bergabung dalam kelompoknya dan
terbebas dari sebutan ‘kuper’ atau ‘banci.’ Jika tidak menerima ajakan merokok mereka akan dikucilkan
dari kelompoknya. Hal ini mendorong anak atau
remaja tidak mempunyai banyak pilihan selain bergabung. Ketiga Iklan. Iklan berperan
besar memengaruhi remaja untuk merokok. Iklan menyerang alam bawah sadar anak atau remaja dengan beringas
dan merecoki pola pikir anak atau remaja kita. Rokok yang adalah agen pembunuh
massal berjangka waktu ditampilkan dalam pesona ‘menaklukkan hutan belantara,
menjejak gunung tertingi, cerdas menemukan solusi atau pandai memikat wanita’.
Iklan-iklan ini terlalu manis untuk tidak diikuti oleh jiwa muda mudi kita.
Dampak Negatif Merokok
Tak ada yang berani
membantah dampak negatif merokok. Selain berpotensi kanker paru-paru, anak-anak
yang terpapar asap rokok sejak dalam kandungan, langsung atau tidak langsung,
tiga kali lebih besar kemungkinannya mengalami kesulitan belajar. Membiarkan
anak atau remaja merokok, sama saja kita membiarkan mereka kesulitan dalam
menyerap pelajaran. Jika hasil belajar anak atau remaja kita selalu menduduki peringkat
akhir ketika dibandingkan dengan standar PISA (Programme for International Student Asessment), TIMSS (Trends in International Mathematics Science
and Study) atau PIRLS (Progress in
International Reading Literacy Study), itu salah satu faktor penyebabnya adalah merokok. Kita tidak pernah menuai atlet-atlet berprestasi. Negara kita tidak memproduksi ‘the
next Maradona’, ‘the next Messi’ atau
‘the next Ronaldo’. Bayangkan, hanya untuk disebut ‘the next´ saja kita tidak sanggup. Bahkan untuk menjadi ‘the next Susi Susanti’ atau ’the next Liem Swei King’ pun kita masih terseok-seok.
Sampai kapan
keluarga-keluarga memandang remeh bahaya merokok bagi anak atau remaja? Sampai
kapan ‘komunitas’ teman sebaya anak atau remaja kita dibiarkan tak terkontrol,
bebas dan lepas? Sampai kapan kita membiarkan iklan (baca: pemilik industri
rokok) meraup keuntungan dari kebiasaan merokok anak atau remaja kita?
Hemat penulis, cara yang paling
efisien dan efektif memangkas jumlah perokok pemula di Indonesia antara lain, pertama Mengontrol Konsumsi Rokok di Kalangan
Remaja. Caranya, dengan menaikkan harga rokok menjadi sekitar Rp 40.000 per bungkus. Mayoritas
perokok berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Dengan menaikkan harga
jual rokok, diharapkan ada penurunan daya beli remaja. Harga rokok yang lebih
mahal diharapkan dapat mengerem kemunculan perokok pemula di kalangan remaja
dan anak-anak. Kedua Menertibkan Penjualan
Rokok Ilegal. Menertibkan Penjualan Rokok
Ilegal dengan memberikan sanksi hukum kepada penjual dan
pengedarnya. Maraknya penjualan rokok ilegal akhir-akhir ini berdampak terhadap
jumlah perokok pemula di Indonesia (Kompas, 09 Juni 2015). Harga rokok ilegal
yang terjangkau oleh kantong remaja kemungkinan besar berkorelasi positif
terhadap konsumsi rokok. Ini berarti bahwa, dengan menghentikan peredaran rokok
ilegal jumlah perokok pemula akan berkurang.
Ketiga Menampilkan Iklan Himbauan Berhenti Merokok. Iklan bisa dipasang lewat media cetak, media
elektronik, atau media sosial. Jika dapat, tokoh iklannya adalah orang-orang
yang populer di kalangan remaja misalnya, Cherrybelle, Evan Dimas Darmono, atau
Entis Sutisna alias Sule. Jika dapat, kita bisa bekerjasama dengan pengelola
media-media sosial di Indonesia agar memasang peringatan bahaya merokok di
setiap tampilan muka akun pengguna.
Kita semua
menyadari bahwa perjuangan untuk terbebas dari candu rokok bukan perkara yang
mudah. Pengalaman menunjukkan bahwa faktor pribadi perokok berkontribusi besar
terhadap berhentinya kebiasaan merokok. Seringkali pengguna harus melewatkan
fase ‘tersiksa’ sebelum benar-benar keluar dari lingkaran ketergantungan. Usaha
eksternal positif dari keluarga, teman sebaya, dan pemerintah diyakini sanggup
membebaskan anak atau remaja kita dari belenggu nikotin.
Disaat pemuda- pemudi kita terbebas dari belenggu
merokok, kita bisa berharap akan lahirnya pemuda-pemudi yang
bersatu hati untuk bersumpah, “kami putra dan putri Indonesia, mengaku berparu-paru
satu, paru-paru sehat untuk Indonesia Raya”. Bangkitlah pemuda yang bebas dari rokok.Semoga!