BERJALAN

SELAMAT DATANG DI ASOSIASI GURU PENULIS INDONESIA (AGUPENA)FLORES TIMUR

Kamis, 12 November 2015

PEROKOK PEMULA YANG SEMAKIN MUDA



OPINI
Oleh Fransiskus Xaverius Berek
(Saat ini sementara studi pasca sarjana di Universitas Negeri Malang)

Usia seseorang saat pertama kali merokok kian muda dari waktu ke waktu. Angka usia pertama kali merokok penduduk kelompok umur 15-19 tahun 33,1 persen pada 2007, meningkat menjadi 43,3 persen tahun 2010. Begitu juga kelompok usia 10-14 tahun di periode yang sama, dari 10,3 persen menjadi 17,5 persen. Hal yang paling menggelisahkan ialah kemunculan perokok di kelompok usia 4-9 tahun yang pada 2007 ada 1,2 persen, menigkat menjadi 1,7 persen tahun 2010 (Kompas, 28 Mei 2015).
Tak hanya itu, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) yang dipublikasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 menunjukkan tak ada penurunan jumlah penduduk perokok usia 15 tahun ke atas sejak 2007 hingga 2013. Justru naik dari 34,2 persen menjadi 36,3 persen. Nusa Tenggara Timur berada di posisi tertinggi perokok di tahun 2013.

Faktor Yang Mendorong Orang Merokok
Rasa ingin tahu dan semangat coba-coba, menjadi faktor awal seorang anak atau remaja merokok. Beberapa faktor lain diantaranya: Pertama Faktor Keluarga. Keluarga menjadi pihak pertama yang mempertemukan anak atau remaja dengan rokok. Seorang anak atau remaja yang merokok biasanya karena meniru kebiasaan orang dekatnya yang perokok. Semakin sering melihat orang dekatnya merokok, semakin kuat keinginannya untuk merokok.  Kedua Teman sebaya. Teman turut andil dalam memengaruhi kebiasaan merokok anak atau remaja. Kebutuhan untuk diterima dalam kelompok teman sebaya seringkali membuat anak atau remaja berbuat apa saja agar dapat bergabung dalam kelompoknya dan terbebas dari sebutan ‘kuper’ atau ‘banci.’ Jika tidak menerima ajakan merokok mereka akan dikucilkan dari kelompoknya. Hal ini mendorong anak atau remaja tidak mempunyai banyak pilihan selain bergabung. Ketiga Iklan. Iklan berperan besar memengaruhi remaja untuk merokok. Iklan menyerang alam bawah sadar anak atau remaja dengan beringas dan merecoki pola pikir anak atau remaja kita. Rokok yang adalah agen pembunuh massal berjangka waktu ditampilkan dalam pesona ‘menaklukkan hutan belantara, menjejak gunung tertingi, cerdas menemukan solusi atau pandai memikat wanita’. Iklan-iklan ini terlalu manis untuk tidak diikuti oleh jiwa muda mudi kita.   

Dampak Negatif Merokok
            Tak ada yang berani membantah dampak negatif merokok. Selain berpotensi kanker paru-paru, anak-anak yang terpapar asap rokok sejak dalam kandungan, langsung atau tidak langsung, tiga kali lebih besar kemungkinannya mengalami kesulitan belajar. Membiarkan anak atau remaja merokok, sama saja kita membiarkan mereka kesulitan dalam menyerap pelajaran. Jika hasil belajar anak atau remaja kita selalu menduduki peringkat akhir ketika dibandingkan dengan standar PISA (Programme for International Student Asessment), TIMSS (Trends in International Mathematics Science and Study) atau PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), itu salah satu faktor penyebabnya adalah merokok. Kita tidak pernah menuai atlet-atlet berprestasi. Negara kita tidak memproduksi ‘the next Maradona’, ‘the next Messi’ atau ‘the next Ronaldo’. Bayangkan, hanya untuk disebut ‘the next´ saja kita tidak sanggup. Bahkan untuk menjadi ‘the next Susi Susanti’ atau ’the next Liem Swei King’ pun kita masih terseok-seok.  
            Sampai kapan keluarga-keluarga memandang remeh bahaya merokok bagi anak atau remaja? Sampai kapan ‘komunitas’ teman sebaya anak atau remaja kita dibiarkan tak terkontrol, bebas dan lepas? Sampai kapan kita membiarkan iklan (baca: pemilik industri rokok) meraup keuntungan dari kebiasaan merokok anak atau remaja kita?
            Hemat penulis, cara yang paling efisien dan efektif memangkas jumlah perokok pemula di Indonesia antara lain, pertama Mengontrol Konsumsi Rokok di Kalangan Remaja. Caranya, dengan menaikkan harga rokok menjadi sekitar Rp 40.000 per bungkus. Mayoritas perokok berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Dengan menaikkan harga jual rokok, diharapkan ada penurunan daya beli remaja. Harga rokok yang lebih mahal diharapkan dapat mengerem kemunculan perokok pemula di kalangan remaja dan anak-anak. Kedua Menertibkan Penjualan Rokok Ilegal. Menertibkan Penjualan Rokok Ilegal dengan memberikan sanksi hukum kepada penjual dan pengedarnya. Maraknya penjualan rokok ilegal akhir-akhir ini berdampak terhadap jumlah perokok pemula di Indonesia (Kompas, 09 Juni 2015). Harga rokok ilegal yang terjangkau oleh kantong remaja kemungkinan besar berkorelasi positif terhadap konsumsi rokok. Ini berarti bahwa, dengan menghentikan peredaran rokok ilegal jumlah perokok pemula akan berkurang.   Ketiga Menampilkan Iklan Himbauan Berhenti Merokok. Iklan bisa dipasang  lewat media cetak, media elektronik, atau media sosial. Jika dapat, tokoh iklannya adalah orang-orang yang populer di kalangan remaja misalnya, Cherrybelle, Evan Dimas Darmono, atau Entis Sutisna alias Sule. Jika dapat, kita bisa bekerjasama dengan pengelola media-media sosial di Indonesia agar memasang peringatan bahaya merokok di setiap tampilan muka akun pengguna.
            Kita semua menyadari bahwa perjuangan untuk terbebas dari candu rokok bukan perkara yang mudah. Pengalaman menunjukkan bahwa faktor pribadi perokok berkontribusi besar terhadap berhentinya kebiasaan merokok. Seringkali pengguna harus melewatkan fase ‘tersiksa’ sebelum benar-benar keluar dari lingkaran ketergantungan. Usaha eksternal positif dari keluarga, teman sebaya, dan pemerintah diyakini sanggup membebaskan anak atau remaja kita dari belenggu nikotin.
            Disaat pemuda- pemudi kita terbebas dari belenggu merokok, kita bisa berharap akan lahirnya pemuda-pemudi yang bersatu hati untuk bersumpah, “kami putra dan putri Indonesia, mengaku berparu-paru satu, paru-paru sehat untuk Indonesia Raya”. Bangkitlah pemuda yang bebas dari rokok.Semoga!