Latar Belakang
Indonesia
tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mengurangi angka buta huruf.
Data UNDP tahun 2014 mencatat bahwa tingkat kemelekhurufan masyarakat Indonesia
mencapai 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori remaja. Capaian
ini sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia telah melewati tahapan krisis
literasi dalam pengertian kemelekhurufan. Meskipun demikian, tantangan yang
saat ini dihadapi adalah rendahnya minat baca. Selain ketersediaan buku di
seluruh Indonesia belum memadai, pemerintah juga menghadapi rendahnya motivasi
membaca di kalangan peserta didik. Hal ini memprihatinkan karena di era teknologi
informasi, peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan membaca dalam
pengertian memahami teks secara analitis, kritis, dan reflektif.
Masyarakat
global dituntut untuk dapat mengadaptasi kemajuan teknologi dan
keterbaruan/kekinian. Deklarasi Praha (Unesco, 2003) mencanangkan pentingnya
literasi informasi (information literacy), yaitu kemampuan untuk mencari,
memahami, mengevaluasi secara kritis, dan mengelola informasi menjadi
pengetahuan yang bermanfaat untuk pengembangan kehidupan pribadi dan sosialnya.
Dalam era
global ini, literasi informasi menjadi penting. Deklarasi Alexandria pada tahun
2005 (sebagaimana dirilis dalam www.unesco.org) menjelaskan bahwa literasi
informasi adalah:
“kemampuan untuk melakukan manajemen pengetahuan dan kemampuan untuk belajar terus-menerus. Literasi informasi merupakan kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan saat informasi diperlukan, mengidentifikasi dan menemukan lokasi informasi yang diperlukan, mengevaluasi informasi secara kritis, mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi ke dalam pengetahuan yang sudah ada, memanfaatkan serta mengkomunikasikannya secara efektif, legal, dan etis.
“kemampuan untuk melakukan manajemen pengetahuan dan kemampuan untuk belajar terus-menerus. Literasi informasi merupakan kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan saat informasi diperlukan, mengidentifikasi dan menemukan lokasi informasi yang diperlukan, mengevaluasi informasi secara kritis, mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi ke dalam pengetahuan yang sudah ada, memanfaatkan serta mengkomunikasikannya secara efektif, legal, dan etis.
Kebutuhan
literasi di era global ini menuntut pemerintah untuk menyediakan dan
memfasilitasi sistem dan pelayanan pendidikan sesuai dengan UUD 1945, Pasal 31,
Ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang. ” Ayat
ini menegaskan bahwa program literasi juga mencakup upaya mengembangkan potensi
kemanusiaan yang mencakup kecerdasan intelektual, emosi, bahasa, estetika,
sosial, spiritual, dengan daya adaptasi terhadap perkembangan arus teknologi
dan informasi. Upaya ini sejalan dengan falsafah yang dinyatakan oleh Ki Hadjar
Dewantara, bahwa pendidikan harus melibatkan semua komponen masyarakat
(keluarga, pendidik profesional, pemerintah, dll.) dalam membina,
menginspirasi/memberi contoh, memberi semangat, dan mendorong perkembangan
anak.
Literasi
tidak terpisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana peserta didik
dalam mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapatkannya di bangku
sekolah. Literasi juga terkait dengan kehidupan peserta didik, baik di rumah
maupun di lingkungan sekitarnya.
Sayangnya,
hasil tes Progress International Reading Literacy Study (PIRLS) tahun 2011 yang
mengevaluasi kemampuan membaca peserta didik kelas IV menempatkan Indonesia
pada peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428, di bawah nilai
rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, survei yang mengevaluasi kemampuan
peserta didik berusia 15 tahun dilakukan oleh Programme for International
Student Assessment (PISA) yang mencakup membaca, matematika, dan sains. Peserta
didik Indonesia berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012 yang keduanya diikuti
oleh 65 negara peserta. Khusus dalam kemampuan membaca, Indonesia yang semula
pada PISA 2009 berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD
493), ternyata pada PISA 2012 peringkatnya menurun, yaitu berada di urutan
ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013). Data ini selaras
dengan temuan UNESCO (2012) terkait kebiasaan membaca masyarakat Indonesia,
bahwa hanya satu dari 1.000 orang masyarakat Indonesia yang membaca. Kondisi
demikian ini jelas memprihatinkan karena kemampuan dan keterampilan membaca
merupakan dasar bagi pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan pembentukan
sikap peserta didik.
Permasalahan
ini menegaskan bahwa pemerintah memerlukan strategi khusus agar kemampuan
membaca peserta didik dapat meningkat dengan mengintegrasikan/menindaklanjuti
program sekolah dengan kegiatan dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini untuk
memastikan keberlanjutan intervensi kegiatan literasi sekolah sebagai sebuah
gerakan literasi sekolah (GLS) agar Gerakan Literasi Sekolah dampaknya
dapat dirasakan di masyarakat.
*** Desain
Induk Gerakan Literasi Sekolah
Tunjukan kepedulian kita bersama.
Kontak kami:
Via sms/ telepon : 085 253 456 413 (Maksimus Masan Kian)
Email : masankian@gmail.com/agupenaguruflotim@gmail.com
Facebook : Maksimus Masan Kian.
Bagi Bapa/ I sesama saudara yang memiliki kepedulian untuk membantu Agupena Flotim, dapat mengirimkan bantuan ke rekening organisasi:
Kantor BRI Cabang Larantuka
Nomor Rekening: 0246 -01- 006514-53-4
Nama: Agupena Flotim
Alamat : Kota Rowido Kelurahan Sarotari Tengah Kecamatan Larantuka Flotim NTT.
Sallam hormat!
Via sms/ telepon : 085 253 456 413 (Maksimus Masan Kian)
Email : masankian@gmail.com/agupenaguruflotim@gmail.com
Facebook : Maksimus Masan Kian.
Bagi Bapa/ I sesama saudara yang memiliki kepedulian untuk membantu Agupena Flotim, dapat mengirimkan bantuan ke rekening organisasi:
Kantor BRI Cabang Larantuka
Nomor Rekening: 0246 -01- 006514-53-4
Nama: Agupena Flotim
Alamat : Kota Rowido Kelurahan Sarotari Tengah Kecamatan Larantuka Flotim NTT.
Sallam hormat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar