Oleh
: Antonius Da Silva,S.Pd
(Wakil
Ketua Agupena Lembata)
Siang itu saya
dikejutkan oleh bunyi dering handphone,
ternyata dering yang nyaring itu berasal dari Maksimus Masan Kian, Ketua
Agupena ( Asosiasi Guru Penulis Nasional ) Cabang Flores Timur. Kurang lebih 2
menit saya terdiam mendengarnya berbicara “Selamat
siang kaka.....Besok kaka tolong datang ke Larantuka untuk bertemu dengan orang
hebat di Seminar HUT Agupena Flotim ke-2. Saya berharap kaka datang untuk
menjadi saksi tentang hal kecil yang kami buat supaya para guru menjadi berarti
dimata siapa saja. Kaka harus datang untuk melihat betapa tegarnya kami berkarya
untuk membuat Flotim menjadi Kabupaten Literasi”. Jujur saja,saya
sudah terbiasa mendengar
orang melakukan persuasi, tetapi suara Maksimus ini mampu mengusik
pikiran saya. Terutama tentang harapan dan impian besar yang mau dia bagikan
kepada saya.
Maksimus Masan Kian adalah
Putra Adonara yang lahir di Honihama, pada tanggal 09 Januari 1986. Dia adalah
seorang guru kampung yang mempunyai mimpi dan harapan dengan ide
yang besar. Setiap kali bertemu dengannya, selalu saja ada sebongkah mimpi yang
dia ceritakan seolah tak ada raut kelelahan diwajahnya. Pernah dia berkisah
bahwa mimpi dan harapan yang dia bangun bersama Agupena Flotim awalnya ditanggapi
sinis dan sepeleh oleh rekan-rekan
seprofesinya. Tapi seperti kata Santo Petrus, bersama teman-temannya, dia
membangun impian dan harapannya diatas batu karang yang kokoh sehingga selalu mampu bertahan diatas
gelombang yang besar.
Tidak ada salahnya
jika orang bermimpi dan mempunyai harapan. Impian dan harapan adalah dua hal
yang mampu membuat seseorang itu tetap hidup. Bahkan Nicklaren pernah
mengatakan jika engkau ingin bermimpi, maka bermimpilah yang tinggi. Orang yang
tidak berkualitas adalah orang tidak mampu berharap dan bermimpi tinggi, lalu
merendahkan impianya supaya mudah digapai. Mungkin itulah sebabnya, tiba-tiba
saja, entah mengapa sehabis mendengar suaranya, saya bergegas dari Kabupaten
Lembata, ke Larantuka Ibu Kota Kabupaten Flores Timur menggunakan kapal
laut Sinar Mutiara Express sambil nge-googling tentang Literasi.
Literasi,
istilah ini muncul pertama kali pada
tahun 2003 yang digagas oleh UNESCO. Lalu pada tanggal 20 maret 2016 kemarin,
oleh pemerintah Indonesia kegiatan literasi ini kemudian diubah menjadi sebuah
gerakan yang diberi nama Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang pointnya- pointnya
disisipkan dalam kurikulum 2013, yakni sebuah gerakan untuk menambah pengetahuan warga sekolah ( peserta didik, guru,kepala
sekolah, dan seluruh stakeholder yang peduli dengan dunia pendidikan) lewat
membaca dan menulis.
Gerakan ini kemudian dijadikan sebagai Tema sentral dalam Seminar menyongsong
Hut Agupena Flotim ke-2 yakni “ Lestarikan Gerakan Literasi”.
Seperti janjinya, hari itu Sabtu tanggal 5 Maret 2017, saya berada di Multi Even Hall Orang Muda Katolik (OMK)
Larantuka bersama orang-orang hebat sekelas Alex Ofong ( Wakil ketua DPRD NTT),
Bernadus Beda Keda (Kadis Pendidikan Kepemudaan dan Olaraga Kabupaten Flotim),Gusty
Richarno ( Pemimpin Umum Media Cakrawala NTT), Santi Sima Gama ( Dosen, Penulis,
peneliti) dan Thomas Akaraya Sogen ( Ketua Agupena Wilayah NTT). Mereka semua berbicara tentang Gerakan Literasi dalam wajah dan cara yang berbeda.
Ada banyak diskursus dan kegelisahan yang diungkapkan dalam panel itu, misalnya
soal Badan Legislatif dan Exekutif yang
hanya mampu berjuang dengan membuat kebijakan dan rancangan perda tanpa
menekankan prioritas anggaran yang berpihak pada kepentingan dunia pendidikan. Sementara
itu disisi lain ada kegelisahan yang diungkapkan oleh Gusty Richarno berdasarkan
fakta bahwa ketika para wakil rakyat dan pemerintah sibuk berteori ternyata ada
anak-anak bangsa yang dianaktirikan dalam dunia pendidikan. Ataukah resah dan
duka nestapa anak-anak kecil yang dilecehkan dan diperkosa, yang kemudian diungkapkan secara gamblang oleh Santi Sima
Gama dalam puisi dan bukunya. Semua ide-ide itu bersileweran dan bersinergi
dalam sebuah diskusi panjang yang mengasyikkan. Yang menarik disini adalah
bagaimana mereka semua pada akhirnya bersepakat untuk menjadikan Kabupaten
Flotim sebagai model Kabupaten Literasi kedua di NTT, setelah Kabupaten Sumba
Timur. Dan Agupena Flotim dimeterai menjadi sponsor dan promotor utama dalam mission immposible ini. Bukankah itu
luarbiasa?
Konon ceritanya, dua
tahun yang lalu bersama beberapa guru kampung (Amber Kabelen, Tobias Ruron,
Jemi Paun dan Wilem Kopong) di Riangpuho Desa Waibao Kecamatan Tanjung Bunga
atau tepatnya 50 Km dari Kota Larantuka, Guru Maksi ( demikian orang
memanggilnya) merasa prihatin dengan kondisi keterpencilan yang dialami bersama
teman teman guru di SMP Negeri Satu Atap Riangpuho. Sekolah yang jauh dari
akses informasi dan dilingkupi oleh berbagai ketiadaan, menyulut api ketakutan
bahwa suatu saat para guru akan berhenti berkarya, karena itu butuh sebuah
media bagi guru mengeksplor kreatifitas mereka. Katanya ” Awalnya adalah keprihatinan
kami terhadap kondisi keterpencilan ini, yang mungkin saja akan membuat para
guru menjadi “bodoh” jika menyerah pada keadaan serba kurang. Jarang
diikutsertakan dalam bimtek, diklat atau pelatihan ditingkat kecamatan dan
kabupaten menjadi pemicu
bagi kami untuk melakukan
sesuatu yang biasa tapi efeknya luarbiasa. Dengan
satu tujuan untuk membentengi diri
dengan pengetahuan, maka kami coba
menghadirkan
sebuah wadah yang
mampu menunjang kreatifitas dan profesionalitas guru, dan Agupena (Asosiasi
Guru Penulis Nasional) adalah solusi terbaik”.
Bertolak
dari hasrat untuk meningkatkan kemampuan literasi dan membagikan semangat yang
sama ini kepada semua guru di Kabupaten Folres
Timur, maka diputuskan untuk menjadikan Agupena sebagai
sebuah komunitas guru penulis. Targetnya sederhana, yakni menyebarkan semangat virus
literasi ini kepada para guru serta menciptakan kebiasaan
membaca dengan memaksakan para guru untuk menulis. Berbekal pengalaman menulis blog dan opini dimedia cetak, bersama
empat teman
guru lainya, mereka turun
gunung untuk melakukan sebuah kampanye guru
menulis.
“Dengan kekuatan 5 (lima) guru kampung, kami mulai
melakukan “kampanye” literasi dari sekolah-sekolah, mulai
dari tingkatan sekolah dasar sampai pada
tingkatan sekolah menegah. Awalnya para guru ini pesimis dengan
kemampuan mereka karena sudah ternoda dengan tayangan sinetron yang episodenya
ribuan. Tapi berkat motivasi dan pendekatan yang intens, mereka
akhirnya mulai
tertarik untuk membaca dan menulis. Buktinya, sampai pada Hut Agupena ke-2, sudah di
atas 50 guru yang menghasilkan KTI dan 6 guru yang menghasilkan buku”,katanya
bersemangat.Salah satu buku Maksimus Masan Kian dengan judul “Ujung Pena Guru
Kampung”
Sebenarnya, para guru harus berada pada barisan terdepan untuk melakukan
kampanye
gerakan literasi ini. Mengapa ? yang
pertama, inti dari gerakan literasi melekat erat dengan tugas
yang diemban oleh para guru yakni membagi ilmunya kepada para peserta didik.
Pengetahuan itu sifatnya dinamis dan selalu berubah setiap saat, oleh sebab itu
para guru dituntut untuk selalu merefresh pengetahuanya.
Karena itu, aktivitas literasi seperti membaca, melihat,menyimak,
menulis dan berbicara adalah aktivitas rutin yang harus dilakukan.
Dengan gerakan literasi pengetahuan para guru bisa di-scan atau di-instal
setiap saat.Yang kedua, gerakan literasi ini bisa mengakar dalam diri peserta
didik, Jika para guru bisa menjadi suri teladan. Singkatnya, guru harus membaca
atau menulis terlebih dahulu supaya anak didiknya bisa meniru atau
mengikutinya. Yang ketiga, adalah tuntutan
Permenpan No.16/PERMENPAN-RB/II/2009, tentang jabatan fungsional guru dan angka
kreditnya, dimana seorang pendidik dituntut untuk bisa menulis (Karya Tulis
Ilmiah), sebagai upaya memenuhi tuntutan profesionalitas kerjanya.
“ Saat ini kami
(Agupena ) baru melakukan hal-hal kecil. Workshop KTI dan Jurnalistik, Seminar
karya PTK, Tur Guru Menulis, mengaktifkan Mading siswa, membantu guru membuat
buku adalah karya-karya sederhana yang sudah kami selama 2 (dua ) tahun
terakhir ini. Akan tetapi saya percaya bahwa Agupena bisa menjadi tempat bagi
para guru untuk memerdekakan ide, dan gagasan dengan lebih leluasa dan
terkontrol. Saya juga percaya bahwa hanya
dengan menulislah guru mampu belajar mengajari dunia tentang hal yang benar
atau salah, dan belajar menghasilkan karya ( tulisan) yang bisa menginspirasi dunia”,ujarnya dengan
senyum.
Ray Bradbury dalam
bukunya Zen in the Art of Writing pernah
menulis “ Anda harus tetap mabuk MENULIS, karena dengan demikian Kenyataan tidak
dapat Menghancurkan Anda”. Itu berarti pena (tulisan) kita adalah sebuah
senjata dasyat yang mampu mengubah kenyataan seturut mimpi kita. Bahkan Novelis
J.K Rowling yang kaya raya berkat “ Harry Potter” menegaskan hal ini, “ Saya
selalu menulis tanpa dibatasi waktu. Tidak perduli apakah siang, malam atau
pagi. Asal libido menulis itu sudah muncul, dengan serta merta saya akan
menulis dengan sendirinya”. Dan di HUT Agupena Flotim ke-2 ini, Maksimus
Masan Kian, seorang guru kampung coba menggunakan pena yang sama itu untuk
mengubah kenyataan bahwa Guru adalah seseorang yang patut dihormati dan dibanggakan
karena karyanya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar