Oleh Vianey Lein
Vianey Lein, Mahasiswa Filsafat dan Teologi
pada Philosophisch- Theologische Hochschule Sankt Augustin SVD – Jerman
Tinggal di Jerman
pada Philosophisch- Theologische Hochschule Sankt Augustin SVD – Jerman
Tinggal di Jerman
Belum lama ini terbentuk Asosiasi Guru Penulis
Indonesia (AGUPENA) tingkat cabang Kabupaten Flores Timur (Flotim). Aktivitas
intelektual seperti workshop dan diskusi seputar tema menulis sudah mulai
diselenggarakan, bahkan beberapa guru yang mengabdi di kabupaten itu sudah
menghasilkan karya pena dalam bentuk opini maupun sastra. Tentu, strategi baru
untuk meningkatkan profesionalisme guru ini mesti mendapat apresiasi dari kita
semua.
Fenomen di dunia Barat memperlihatkan, di dalam bus
dan kereta, halte dan ruang tunggu pesawat dan praktek dokter tampak orang
begitu tekun dan asyik membaca. Bahkan di toilet sekalipun disediakan bahan
bacaan agar orang tidak bosan dan mengisi waktu dengan sesuatu yang bernilai.
Untuk anak-anak yang belum sanggup membaca, dibacakan cerita dongeng oleh orang
tua atau nenek. Animo membaca demikian sudah membudaya di negara-negara maju.
Bagaimana dengan kita di Flores Timur?
Revolusi media yang drastis dan canggih mulai dari
monomedia sampai multimedia nada, gambar dan teks memudahkan orang untuk
mengakses informasi dari internet atau bahan bacaan dari E-Book.
Goenawan Mohamad, penulis yang mengasuh kolom „Catatan
Pinggir“ majalah Tempo, benar, ketika ia berasumsi bahwa minat baca dan tulis
menjadi kuat dengan adanya Facebook dan Twitter, tetapi serentak
ia mempertanyakan bobot dan kualitas bacaan atau postingan pada Facebook dan
Twitter.
Dalam nada sangsi beliau berujar: „bahwa hal itu
(membaca dan menulis d FB atau Twitter) membangkitkan kesastraan, saya tidak
tahu.“ Sayangnya, „selama ini dipakai untuk cerita pribadi: makan di mana,
minum di mana, sedang apa, dan untuk maki, mengibuli orang“, tandas Goenawan
dalam satu wawancara menyongsong Frankfurt Book Fair 2015, dimana Indonesia
sebagai Tamu kehormatan.
Membaca menagih investasi waktu, biaya, dan kerja otak
untuk mengerti dan menganalisis. Mungkin juga terlalu idealis, jika
kita„memaksakan“ anak-anak sekolah untuk tekun menggeluti buku-buku bacaan
setelah kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Memang itu bukanlah hal yang mudah karena dunia mereka
adalah dunia bermain. Mereka kelihatan lebih bahagia bila menghabiskan waktu
luang untuk bermain bersama teman-teman sekolah atau duduk berjam-jam lamanya
mengutak-atik Game Computer.
Persoalan tentang manajemen waktu untuk membaca juga
dialami para guru. Benturan antara tugas mendidik di sekolah dan tanggung jawab
dalam keluarga menciptakan konflik peran dan status dalam diri para guru yang
berujung pada kesulitan membagi waktu untuk membaca.
Tapi deretan persoalan dan kesulitan yang ada tidak
bisa menjadi rintangan untuk memulai sesuatu. AGUPENA Flotim merupakan sebuah
awal yang baik, bukan hanya untuk para guru, melainkan juga bagi semua warga
Flotim, khususnya para peserta didik.
Kita tidak perlu bermimpi yang muluk-muluk untuk
menjadi penulis kaliber seperti Goenawan Mohamad dan sastrawan berkelas seperti
Seno Gumira Ajidarma, Andrea Hirata atau Ayu Utami. Kita berharap agar AGUPENA
Flotim tidak berorientasi pada „sertifikasi guru“ semata dan menjadi batu
loncatan untuk kenaikan pangkat dan bertambahnya jumlah gaji bila sukses
menghasilkan satu tulisan ilmiah. Non scholae, sed vitae legimus – kita
membaca bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup.
AGUPENA Flotim semestinya tampil menumbuhkan budaya
baca dan kemampuan menulis serta „kemampuan berinteraksi dengan bahasa
tertulis“ di lingkungan sekolah. Karena itu, adalah menjadi tanggung jawab
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Flotim serta masing-masing kepala sekolah
untuk mendirikan perpustakaan atau taman baca bagi sekolah-sekolah yang belum
memiliki serta mengoptimalkan fungsi perpustakaan sebagai tempat konsumsi buku
dan media informasi.
Saya masih ingat ketika masih di bangku Sekolah Dasar.
Almamater saya memiliki sebuah perpustakaan yang boleh dibilang bagus untuk
tingkat desa. Namun sangat disesalkan bahwa perpustakaan itu kini tidak eksis
lagi.
Secara kritis Taufik Ismail mengungkapkan bahwa bangsa
Indonesia tertinggal jauh dalam animo membaca karena pendidikan di sekolah
sangat tertinggal. Orientasinya sangat linguistis: di SD diajarkan awalan,
sisipan, akhiran; di SMP diulang lagi hal yang sama: awalan, sisipan, akhiran.
Lebih lanjut beliau menandaskan, kecintaan membaca
buku dan kemampuan mengarang mesti kembali ditanam sejak dini. „Mari kita latih
anak-anak bangsa terbang ke angkasa pemikiran dan permenungan melalui kecintaan
membaca dan kemampuan mengarang“.
Untuk AGUPENA Flotim: Jangan pernah berhenti untuk
memulai dan mulai untuk berhenti. Buku adalah inti peradaban kita.
Opini ini sudah diposkan di media on line Floresbangkit, dan Media Cetak Florespos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar