OPINI
Maksimus Masan Kian, S.Pd
(Ketua Asosiasi Guru Penulis Indonesia/ AGUPENA
Kabupaten Flotim)
Opini ini
telah diekpos oleh Koran Harian Umum Flores Pos Pada Selasa, 14 Juli 2015 pada
Rubrik Opini
Kurikulum menjadi tema diskusi yang
hangat akhir- akhir ini. Baik dimedia sosial maupun dikalangan pengamat pendidikan,
kepala sekolah, guru, para orang tua, dan masyarakat pada umumnya. topik ini
kembali diperbincangkan saat munculnya wacana akan adanya pergantian lagi
kurikulum yang saat ini sementara diberlakukan yakni kurikulum 2013 (K13), dan
kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan( KTSP). Kedua kurikulum ini sesuai dengan
wacana akan digantikan dengan Kurikulum Nasional (KN) pada tahun 2018.
Pemerintah seolah gemar dan aktif
melakukan perubahan kurikulum, dari tahun ke tahun dan dari masa kepemimpinan
politik yang satu ke masa kepemimpinan politik berikutnya. Realitas yang
terjadi di daerah – daerah kadang kurang diperhatikan sebagai sebuah
pertimbangan pokok mengambil keputusan. Guru dalam kebingungan. Sebuah
kurikulum yang belum tuntas penerapannya, dalam perjalanan waktu sudah
diganti. Guru kemudian diperhadapkan lagi pada sebuah hal yang baru. Sementara
itu, sosialisasi, pelatihan dan pendampingan guru untuk memahami sebuah
kurikulum sangat minim dan tidak melibatkan guru secara keseluruhan. Adanya
pelatihanpun terksesan hanya asal jadi. Ini terasa di daerah.
Sangat fenomenal, disaat keputusan
merubah K13 menjadi KTSP, mengapa demikian? Penerapan K13 pengganti KTSP yang
baru berlaku enam bulan secara serentak untuk seluruh sekolah di
Indonesia yakni pada semester pertama tahun ajaran 2014/ 2015 dimasa
kepemimpinan Menteri Pendidikan Muhamad Nuh kabinet Susilo Bambang Yudoyono,
oleh menteri Pendidikan Anies Baswedan kabinet kerja Bapak Joko
Widodo menghentikannya pada akhir semester pertama. Perubahan kurikulum terjadi
pada masa transisi antara semester pertama dan semester kedua.
Melalui surat bernomor
179342/MPK/KR/2014 tanggal 5 Desember 2014, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional Anies Baswedan memutuskan untuk menghentikan
pelaksanaan kurikulum 2013 di sekolah –sekolah yang baru menerapkan satu
semester, yaitu sejak tahun pelajaran 2014/ 2015. Sekolah –sekolah ini supaya
kembali menggunakan kurikulum 2006. Sementara sekolah – sekolah yang sudah
mengimplementasikan kurikulum selama tiga semester, yaitu sejak tahun pelajaran
2013/ 2014 tetap menerapkan Kurikulum 2013, dan sekolah – sekolah tersebut
kemudiaan akan dijadikan sebagai sekolah pengembangan dan percontohan
penerapan kurikulum 2013. Proses pemberhentiaan Kurikulum 2013 berangkat dari
evaluasi yang dilakukan oleh tim evaluasi kurikulum 2013 bentukan menteri
Kebudayaan Pendidikan dasar dan Menegah Anies Baswedan.Maka kemudian,
lahirlah Permendikbud nomor 160 tahun 2014 tentang pemberlakuan kurikulum 2006
dan kurikulum 2013.
Saat ini kurang lebih ada 16.791
sekolah yang menerapkan K13, dengan rincian 7.961 sekolah sebagai pilot projek,
dan sisanya 8.830 menerapakan K13 secara mandiri. Lebih banyak sekolah yang
menerapakan KTSP. Sepanjang sejarah penerapan kurikulum di Indonesia
sebelumnya, belum pernah ada penerapan dua kurikulum secara bersamaan. Oleh
banyak kalangan menilai bahwa, langkah yang diambil oleh Anies Baswedan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nasional ini merupakan sebuah langkah yang tepat
dalam upaya untuk melakukan evaluasi yang mendalam terlebih dahulu tentang
sebuah kurikulum sebelum diterapkan. Sementara itu, tidak sedikit juga
orang membuat kritik atas langkah yang diambil oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nasional ini. Menurut mereka, keputusan yang diambil oleh Bapak
menteri memberlakukan kembali KTSP adalah sebuah langkah mundur dalam
dunia pendidikan di Indonesia.
Kurikulum menurut UU No. 20 tahun
2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Kurikulum memegang peranan yang
penting dan strategis dalam mengukur kualitas dan perkembangan pendidikan
secara nasional. Tak heran, sejak negara ini berdiri, sudah sekian kali
kurikulum mengalami perubahan dan pembaharuan, mulai dari tahun 1947- dengan
sistem Leer Plan (Rencana Pelajaran), 1952-Rencana Pelajaran
Terurai,1964-Rentjana Pendidikan, 1968-Kurikulum 1968, 1975-Kurikulum
1975, 1984-Kurikulum 1984, 1994 dan 1999-Kurikulum 1994 dan Suplemen
Kurikulum 1999, 2004-Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2006-Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, dan tahun 2013-Kurikulum 2013.
Argumentasi pergantian sebuah
kurikulum biasanya adalah, “perubahan dalam rangka penyempurnaan, pembaharuaan
dan lain sebagainya. Dr. Unifah Resyadi Direktorat Jederal Ketenagaan
Pendidikan Kementriaan Pendidikan Nasional mengatakan, pergantian
Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Nasional merupakan upaya perbaikan atau
penyempurnaan terhadap kurikulum 2013. Lebih dari setahun penerapan Kurikulum
2013, masih diwarnai permasalahan demi permasalahan, diantaranya belum pahamnya
guru dalam menerapan K13, kacauya distribusi buku, dan akhir- akhir ini
ditemukan isi buku yang memuat ajaran – ajaran radikal. “ kami berpikir bahwa
kurikulum 2013 ini bagus, tapi juga tidak lepas dari kekurangan. Nah,
kekurangan ini, sedang diperbaiki. Saat ini belum dilakukan sosialisasi karena
masih fokus pada perbaikan kurikulum 2013.
Agar dikemudian hari tidak
menimbulkan polemik akan penerapan Kurikulum Nasional, baiklah ada upaya
mendahului pengambilan keputusan diantaranya pertama Sosialisasi
serius. Tak cukup hanya dengan melakukan sosialisasi, tetapi sosialisasi
yang serius. Sosialisasi yang serius menjadi hal pokok dan penting. Sosialisasi
akan membuat lebih banyak orang tau, dan membuat lebih banyak orang lebih siap
akan sebuah hal baru yang ingin diterapkan. Kepala sekolah, guru, orang
tua, siswa wajib mendapat sosialisasi tentang sebuah kurikulum baru yang akan
diterapkan. Pemahaman yang baik akan memudahkan dalam implementasinya.
Kedua, pelatihan yang serius. Pelatihan yang serius, patut dan layak
dilakukan sebelum menerapkan sebuah kurikulum baru. Bicara soal pelatihan, ini
seakan menjadi momok. Ambil contoh K13, dikatakan pelatihan, namun yang terjadi
lebih banyak memaparkan teori. Guru sebatas mengetahui teori tentang K13,
esensi dari pelatihan itu belum tersentuh. Pelatihan, mestinya guru
diberikan kesempatan untuk mengalami secara langsung. Guru dilatih secara
rutin. Pelatihan yang rutin akan membangun pemahaman dan kemahiran bagi guru
dalam menerapkan sebuah kurikulum yang baru. Saat ini ditahun –tahun pematangan
K13, pelatihan seolah mati suri. Tak ada lagi geliat pelatihan kepada guru –
guru tentang K13. Ketiga penyediaan fasilitas. Ketersediaan
fasilitas yang memadai, akan mempermudah guru memahami dan mampu
mengimplementasikan sebuah kurikulum. Bisa dibayangkan, guru dituntut untuk
melakukan penilain berdasarkan format penilaian K13, sementara penguasaan
komputerisasi masih lemah, terdapat sekian banyak sekolah dipelososok yang
masih mengandalkan lampu pelita, sekolah pada wilayah tanpa ada sinyal
telkomsel, menambah daftar kesulitan guru. Tak hanya itu, jarak sekolah
yang jauh dengan pusat kota berakibat pada kacaunya pendistribusian buku. Buku
datang diakhir semester. Ceritra memang berbeda dengan ketersediaan fasilitas
pada sekolah diwilayah perkotaan. Keempat, regulasi. Regulasi
harus jelas dalam memayungi penerapan sebuah kurikulum. Perlu ada kejelasan
batasan waktu, sebuah kurikulum mengalami pembaharuan, jika memang harus
diperbaharui. Jangan terkesan buru – buru. Dan jika mengalami pembaharauan
idealnya berangakat dari investigasi, survei dan evaluasi mendalam, tidak
sekedar merubah dan mengabaikan analisis asas manfaatnya. Efektivitas
implementasi sebuah kurikulum harus diketahui.
Seperti apa Kurikulum Nasional?
sosialisasi dan pelatihan kepada Guru dinanti sebelum implementasinya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar